Saturday, January 19, 2008

Sang Sufi

Pada suatu masa hiduplah seorang penganut tasawuf yang bernama Nidzam al Mahmudi. Beliau tinggal di sebuah gubuk kecil di kampung yang terpencil. Istri dan anak-anaknya hidup amat sederhana. Tapi, semua anaknya cerdas dan berpendidikan. Selain beberapa orang penduduk kampung itu, tidak ada yang tahu bahwa dia memiliki kebun yang amat luas dan toko-toko yang tersebar di berbagai kota. Dengan kekayaannya itu, beliau bisa menghidupi ratusan keluarga yang selama ini bergantung kepadanya. Bahkan tingkat kemakmuran para pegawainya jauh lebih tinggi daripada sang majikan. Namun, Nidzam merasa sudah teramat bahagia dengan apa yang sudah diperolehnya.



Seorang anaknya pernah bertanya, “Mengapa Ayah tidak membangun rumah yang besar dan indah? Bukankah Ayah mampu?”

“Ada beberapa sebab mengapa Ayah lebih suka menempati sebuah gubuk kecil,” jawab sang sufi yang tidak terkenal itu.

“Pertama, karena betapa pun besarnya rumah kita, yang kita butuhkan ternyata hanya tempat untuk duduk dan berbaring. Rumah besar sering menjadi penjara bagi penghuninya. Sehari-hari ia cuma mengurung diri sambil menikmati keindahan istananya. Ia terlepas dari masyarakatnya. Dan ia terlepas dari alam bebas yang indah ini. Akibatnya ia akan kurang bersyukur kepada Allah.”

Anaknya yang sudah cukup dewasa itu membenarkan ucapan ayahnya dalam hati. Apalagi ketika sang Ayah melanjutkan penjelasannya, “Kedua, dengan menempati sebuah gubuk kecil, kalian akan menjadi cepat dewasa. Kalian ingin segera memisahkan diri dari orang tua supaya dapat menghuni rumah yang lebih lega. Ketiga, kami dulu cuma berdua, Ayah dan Ibu. Kelak akan menjadi berdua lagi setelah semua anak-anak kami sudah berumah tangga. Apalagi Ayah dan Ibu menempati rumah yang besar, bukankah kelengangan suasana akan lebih terasa dan mungkin menyiksa?”

Si anak termangu. Alangkah bijaknya sang ayah yang tampak lugu dan polos itu. Seorang hartawan yang hartanya berlimpah. Akan tetapi setiap hari tetap bermandikan keringat, menuai hasil taninya sendiri. Ia tidak disilaukan oleh harta. Sebab banyak hartawan lain yang hanya dapat menghitung-hitung kekayaannya dalam bentuk angka-angka. Mereka hanya bisa menikmati lembaran-lembaran kertas yang seakan tak pernah habis. Padahal mereka tak akan membawa apa-apa dari yang mereka miliki itu di akhirat kelak.

Ayahnya meneruskan, “Anakku, jika aku membangun sebuah istana mewah, biayanya terlalu besar. Dengan biaya sebesar itu kalau kubangunkan gubuk-gubuk kecil yang memadai untuk tempat tinggal, berapa banyak gelandangan yang bisa berteduh? Ingatlah anakku, dunia ini disediakan Tuhan untuk seluruh mahkluknya. Dan dunia ini diciptakan Allah cukup untuk memenuhi kebutuhan semua penghuninya. Akan tetapi, dunia ini akan menjadi sempit dan terlalu kecil, bahkan tidak cukup, untuk memuaskan keserakahan seorang manusia saja.”

tausiyah

Anak-anak, harta duniawi, sesungguhnya hanyalah titipan Allah SWT


No comments:

Post a Comment