Friday, January 25, 2008

Dian Sastro dkk Kehabisan Kreativitas

Saya bukan orang suci dan juga mungkin pernah melihat hal-hal yang tidak senonoh. Tapi, saya tidak mau munafik melihat dunia ini.



Usulan untuk mengganti sistem yang berlaku di Lembaga Sensor Film dari sensor umum menjadi sensor bersistem klasifikasi sedang terus diperjuangkan para pekerja film yang sedang kehilangan kreativitas. Mereka beranggapan dengan sistem klasifikasi, seperti di televisi, ada tayangan yang harus ditonton +17 tahun, bimbingan orangtua, dan semua umur, film Indonesia akan lebih berkembang lagi.

Saya coba buang jauh-jauh atribut saya sebagai seorang muslim (soalnya Islam bertentangan dengan demokrasi) dalam menanggapi isu ini. Dan saya coba menjabarkan beberapa fakta yang istilah orang film, ”Betul-betul terjadi dalam masyarakat”. Sebagai orang Indonesia, tentunya kita tahu di tengah masyarakat sedang marak perkosaan yang diakhiri dengan pembunuhan terhadap anak di bawah umur, bahkan ada yang masih berstatus balita. Ada juga banyak kasus sodomi.

Ketika film diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi dewasa, umum, anak-anak dll. Anda tidak bisa menjamin seseorang yang berumur +17 tahun akan sanggup bertindak dewasa setelah menonton sebuah film. Justru merekalah yang akan menjadi sumber masalah. Seseorang yang sudah berusia +17 tahun harus mengeluarkan hasrat biologisnya jika dia terangsang setelah menonton film tersebut. Mungkin ada yang bisa bertahan, tapi bagi yang tidak mereka harus bisa menyalurkan. Untuk yang punya istri, atau pacar, mereka bisa menyalurkan (itu juga mungkin, kali aja si bapak pengen nyari tantangan baru dengan wanita lain gara-gara film itu). Tapi untuk yang belum menikah, syukurlah jika mereka hanya melakukan masturbasi. Yang akan lebih parah, jika yang menonton film tersebut adalah orang berumur +17 tahun dan tidak puas hanya dengan masturbasi, apalagi kalau miskin (tidak cukup untuk menyewa pelacur), moral rendah, yang akan merasakan akibatnya adalah orang-orang di sekitar mereka. Kadang yang diperkosa adiknya sendiri (Dian Sastro dilahirkan dalam kondisi ideal sebuah keluarga, makanya tidak bisa melihat kondisi nyata 70 persen rakyat Indonesia, dimana orang secantik dia juga bisa menjadi korban kasus ini), anaknya, anak tetangga, atau bahkan sodomi.

Singkat kata, setelah sistem klasifikasi diterapkan (seandainya terjadi sesuai dengan apa yang dikatakan Dian Sastro yaitu semua orang bisa mengawasi) siklus yang akan terjadi adalah begini. +17 tahun nonton film dewasa, ada yang tidak terangsang ada yang terangsang. Yang terangsang ada yang bisa melampiaskan tanpa efek samping, ada yang tidak bisa melampiaskan. Yang tidak bisa melampiaskan mencari pelampiasan lain, ada yang memperkosa ada yang nyari anak +17 tahun. Yang memperkosa merusak masa depan si cewek. Yang nyari anak +17 tahun nyodomi, merkosa balita dll. Alhasil kasus kejahatan terhadap anak meningkat. Si anak atau korban perkosaan merasa hancur, akhirnya dirinya atau keturunannya malah ikut rusak, merasa tidak berharga, jadinya pelacur dll. Pelacur menjadi ide film para sutradara, akhirnya siklus kembali ke awal. Begitu seterusnya.

Kenapa judul di atas saya sebut hilang kreativitas? Karena sepertinya pekerja film Indonesia ngotot sekali dengan masalah sensor ini. Sepertinya memang mereka sudah kehabisan ide untuk membuat film laris. Sehingga, sudah tidak sabar untuk menampilkan dada dan paha wanita atau adegan pembunuhan yang begitu nyata dan akan menarik lebih banyak penonton. Sayang kita hanya punya dua orang yang kreatif di film Indonesia, yaitu Deddy Mizwar dan Ari Sihasale. Film mereka berdua laris, mendapat penghargaan internasional, tanpa terlalu mengekspos dada paha, atau sayatan dan pukulan. Seandainya Dian Sastro dkk mau berkaca pada perfilman Iran yang mendapatkan berbagai penghargaan internasional meskipun mereka tidak menggembar-gemborkan dada dan paha atau kekerasan.

Saat ini, Indonesia berada di urutan kedua setelah Swedia dalam hal mendapatkan produk pornografi (berdasarkan sebuah lembaga internasional). Dengan kata lain, dengan sensor film yang kuat pun masyarakat sudah bisa mendapatkan tontonan-tontonan yang bebas sensor, bahkan kalangan bawah, dan anak-anak.


No comments:

Post a Comment