Wednesday, November 21, 2007

November 5, 2007


November 5, 2007

Halo, selamat hari Senin ya!

Tenang, hari ini ga ada cerita lagi, tapi..........kayaknya kita musti menanggapi beberapa berita yang beredar di Indonesia hari ini.

Hukuman mati

Ada seorang penulis yang membuat tema hukuman mati. Beliau berpendapat bahwa hukuman mati tidak pantas dicantumkan sebagai sebuah bentuk hukuman karena hukuman mati bersifat membunuh, atau menghilangkan nyawa. Membunuh bertentangan dengan prinsip keluhuran nilai hidup yang dibela dalam hukum dan keadilan. Dan, hukuman mati itu lebih bersifat emosional daripada rasional. Mari kita jabarkan satu per satu.

Pernyataannya yang menyatakan bahwa hukuman mati adalah hukuman yang lebih bersifat emosional daripada rasional sedikit mengusik pemikiran gw. Seandainya pun gw yang duduk sebagai terdakwa hukuman mati, tentu saja gw bakal menolak diberlakukannya hukuman mati di Indonesia, karena gw ngerasa hukuman mati itu terlalu sadis untuk kesalahan gw yang ‘Cuma’ nyebarin narkoba.

Darimana sih berawalnya penolakan hukuman mati?

Gerakan menolak hukuman mati berkembang bukan seperti yang digembar-gemborkan oleh lembaga-lembaga nasional atau internasional yang menolak hukuman mati. Mereka mengatakan bahwa, penolakan hukuman mati berasal dari rasa kemanusiaan yang menolak pembalasan dendam dalam bentuk apa pun.si terhukum berhak untuk mendapatkan kesempatan keduanya.

Benarkah karena rasa kemanusiaan?

Banyak pelaku pembunuhan......oke, kita samakan suara dulu, kita ga ngebahas pembunuhan satu orang, tapi pembunuhan berantai, atau kasus-kasus seperti Bom Bali...oke?

Sebenarnya orang-orang pertama yang menolak hukuman mati lebih menitikberatkan pada kepentingan mereka sendiri dibandingkan dengan kepentingan umum, atau yang sering mereka sebut dengan rasa kemanusiaan. Mereka menyaksikan eksekusi hukuman mati yang dilakukan dengan cara dipenggal, dihukum gantung, dan sejenisnya. Akhirnya mereka tidak tahan menyaksikan semua prosesi itu, karena melihat darah dimana-mana, dan tampang orang kegantung yang cukup mengenaskan. Akhirnya, mereka mengusulkan berbagai mekanisme hukuman baru yang membuat mereka bisa lebih nyaman ketika menyaksikan eksekusi. Muncullah kursi listrik, suntik mati dan sejenisnya. Sebetulnya mereka sedikit puas dengan cara-cara hukuman mati yang lebih modern ini. Karena, terhukum tidak merasakan penderitaan yang menyakitkan.

Benarkah orang yang dihukum dengan suntik mati merasa lebih enak daripada yang dihukum pancung?

Boleh ngomongin Tuhan gak nih? Buat yang ga punya Tuhan, sori ye....

Secara logika kedokteran, mengurangi rasa sakit bisa dilakukan dengan mematikan sistem saraf si terhukum, dengan demikian dia tidak akan merasakan sakitnya. Tapi bagaimana caranya?

Kalau dengan suntikan mati, si terhukum disuntikan obat yang akan melumpuhkan sistem sarafnya dan kemudian baru disuntikan zat untuk mematikan organ-organ tubuhnya. Sepertinya memang gampang, tapi tahu ga? Dosis obat sakit kepala aja, setiap orang ga sama lho, tanya aja ke dokter kalo ga percaya. Apa artinya? Belum tentu si terhukum sudah kehilangan impuls dari sarafnya ketika organnya akan dimatikan. Apa artinya lagi? Ada beberapa terhukum yang malah menderita sangat lama sebelum melepaskan nafas terakhirnya. Datanya ada di dephum AS. Beberapa terpidana gagal mati setelah waktu yang diperkirakan.

Tapi, bagi orang-orang yang eksibisionis mentalis, alias para dewa-dan dewi kasih sayang, mereka sangat bahagia, karena cipratan darah yang sering membuat mereka mual tidak terlihat lagi. Seperti yang gw sebutkan di atas, mereka sendiri sebetulnya ga peduli kalao si terpidana menderita sedemikian rupa, yang penting, apa yang mereka lihat hanya seonggok tubuh yang diam, tanpa darah, tanpa lonjakan-lonjakan seperti eksekusi dengan kursi listrik.

Udah ngerti kan? Sebetulnya intinya hukuman mati itu sama kayak nyembelih hewan. Putuskan aliran saraf kemudian aliran nafas dan nutrisi tubuh (darah).

Pada hukuman pancung. Aliran darah, saraf, dan nutrisi ke otak yang merupakan pusat dari semua rasa sakit terputus sering terputusnya kepala yang dipenggal. Apa artinya? Karena alirannya terputus, maka otak tidak mendapatkan suplai darah dan oksigen lagi. Dengan beberapa detik saja otak sudah susah merasakan sakit. Kemudian darah mengalir bebas terbuang ke luar. Akhirnya si terhukum mati, dan setahu saya, dengan terputusnya aliran-aliran penting ke otak adalah cara tercepat seseorang akan mati.

Jadi pilihannya terserah anda?

Sebenarnya kalau kita mengaku beragama, proses kematian itu sama aja. Betapa pun caranya dibuat sedemikian rupa, mati tetaplah sakitnya segitu-gitu juga. Jadi ga usah nyari cara-cara hukuman mati yang baru, toh semua menginginkan hasil yang sama.

Hukuman mati itu lebih bersifat emosional daripada rasional?

Setahu saya, seseorang yang dihukum itu harus berdasarkan pasal yang dilanggarnya. Pasal yang dilanggarnya itu ada dalam kitab undang-undang. Kitab undang-undang itu disahkan dengan musyawarah para wakil rakyat. Para wakil rakyat adalah wakil masyarakat. Masyarakatlah yang menitipkan suaranya pada para wakil rakyat. Artinya, segala bentuk hukuman yang tertulis di undang-undang sudah disepakati oleh masyarakat. Barangsiapa anggota masyarakat yang melanggarnya berarti melanggar kesepakatan bersama. Kesepakatan itu sudah disosialisasikan lebih dahulu

Emosional?

Setahu saya, emosional artinya muncul begitu saja setelah kejadian yang lebih banyak didasari oleh perasaan pribadi.

Muncul tiba-tiba setelah kejadian?

Apakah hukuman mati muncul begitu saja ketika seseorang melakukan kesalahan? Mungkin penjelasan tentang bagaimana proses sebuah hukum atau aturan masyarakat dibuat bisa menjelaskan poin ini. Jenis hukuman yang akan diberlakukan kepada seorang terpidana tidak ditentukan langsung ketika dia melakukan kesalahan, tetapi sudah dari ribuan tahun sebelum itu disosialisasikan lewat aturan yang namanya undang-undang. Diii dalam undang-undang itulah disebutkan, hukuman mati untuk yang membunuh 70 orang, seumur hidup untuk pembunuhan 50 orang dan sebagainya. Oleh karena itu, keputusan itu tidak dikeluarkan dengan begitu saja, tapi ada rujukannya.

Didasari oleh perasaan pribadi?

Dalam setiap kasus, terutama yang menyangkut pembunuhan, yang dibunuh tidak ada hubungan apa-apa dengan sang hakim. Lalu, untuk apa si hakim memakai perasaan pribadinya, toh yang dibunuh bukan sodaranya? Sang hakim memutuskan dengan dua tahap. Memutuskan si pelakulah yang bertanggung jawab, dengan cara meneliti bukti-bukti dan mendengarkan keterangan saksi-saksi. Kemudian baru memutuskan hukuman yang layak bagi si terdakwa, hal ini dilakukan hakim dengan merujuk Undang-undang. Apa artinya? Si hakim tidak sedikit pun punya alasan untuk memasukkan emosi pribadi, kecuali dia memang turut dirugikan.

Nah....dengan kedua penjelasan di atas, jelaslah bahwa hukuman mati atau hukuman jenis apa pun diputuskan dengan rasional.

Sekarang pilihan anda apakan mendukung hukuman mati tetap ada atau tidak di Indonesia.

No comments:

Post a Comment