Saturday, April 19, 2008

Cermin yang Terlupakan

”Semua orang tidak perlu menjadi malu karena pernah berbuat kesalahan, selama ia menjadi lebih bijaksana daripada sebelumnya.” (Alexander Pope)

Pada suatu ketika, sepasang suami istri, mereka adalah keluarga Johan, menjual barang-barang bekas yang tidak mereka butuhkan lagi. Suami istri ini sudah setengah baya, dan anak-anak mereka telah meninggalkan rumah untuk hidup mandiri. Sekarang waktunya untuk membenahi rumah, dan menjual barang-barang yang tidak dibutuhkan lagi.

Saat mengumpulkan barang-barang yang akan dijual, mereka menemukan benda-benda yang sudah sedemikian lama tersimpan di gudang. Salah satu di antaranya adalah sebuah cermin yang mereka dapatkan sebagai hadiah pernikahan mereka, dua puluh tahun yang lampau.



Sejak pertama kali diperoleh, cermin itu sama sekali tidak pernah digunakan. Bingkainya yang berwarna biru laut membuat cermin itu tampak buruk, dan tidak cocok untuk diletakkan di ruangan mana pun di rumah mereka. Namun karena tidak ingin menyakiti orang yang menghadiahkannya, cermin itu tidak mereka kembalikan.

Demikianlah, cermin itu teronggok di loteng. Setelah dua puluh tahun berlalu, mereka berpikir orang yang memberikannya tentu sudah lupa dengan cermin itu. Maka mereka mengeluarkannya dari gudang, dan meletakkannya bersama dengan barang lain untuk dijual keesokan hari.

Penjualan mereka ternyata mendapat banyak peminat. Halaman rumah mereka penuh oleh orang-orang yang datang untuk melihat barang bekas yang mereka jual. Satu per satu barang bekas itu mulai terjual. Perabot rumah tangga, buku-buku, pakaian, alat berkebun, mainan anak-anak, bahkan radio tua yang sudah tidak berfungsi pun masih ada yang membeli.

Seorang lelaki menghampiri Bu Johan. "Berapa harga cermin itu?" katanya sambil menunjuk cermin tak terpakai tadi. Bu Johan tercengang.

"Wah, saya sendiri tidak berharap akan menjual cermin itu. Apakah Anda sungguh ingin membelinya?" katanya.

"Ya, tentu saja. Kondisinya masih sangat bagus." jawab pria itu.

Bu Johan tidak tahu berapa harga yang pantas untuk cermin jelek itu. Meskipun sangat mulus, namun baginya cermin itu tetaplah jelek dan tidak berharga.

Setelah berpikir sejenak, Bu Johan berkata, "Hmm ... anda bisa membeli cermin itu untuk seribu rupiah."

Dengan wajah berseri-seri, pria tadi mengeluarkan dompetnya, menarik selembar uang seribu rupiah dan memberikannya kepada Bu Johan.

"Terima kasih," kata Bu Johan, "Sekarang cermin itu jadi milik Anda. Apakah perlu dibungkus?"

"Oh, jika boleh, saya ingin memeriksanya sebelum saya bawa pulang." jawab si pembeli.

Bu Johan memberikan ijin, dan pria itu bergegas mengambil cerminnya dan meletakkannya di atas meja di depan Bu Johan. Dia mulai mengupas pinggiran bingkai cermin itu. Dengan satu tarikan dia melepaskan lapisan pelindungnya dan muncullah warna keemasan dari baliknya. Bingkai cermin itu ternyata bercat emas yang sangat indah, dan warna biru aqua yang selama ini menutupinya hanyalah warna dari lapisan pelindung bingkai itu! "Ya, tepat seperti yang saya duga! Terima kasih!" sorak pria itu dengan gembira.

Bu Johan tidak bisa berkata-kata menyaksikan cermin indah itu dibawa pergi oleh pemilik barunya, untuk mendapatkan tempat yang lebih pantas daripada loteng rumah yang sempit dan berdebu.

Inspirasi :

Kisah ini menggambarkan bagaimana kita melihat hidup kita. Terkadang kita merasa hidup ini membosankan, tidak seindah yang diinginkan. Kita melihat hidup berupa rangkaian rutinitas biasa yang harus dijalani. Bangun pagi, pergi sekolah, pulang sore, tidur, bangun pagi, pegi sekolah, pulang sore, tidur. Itu saja setiap hari.

Sama halnya dengan Bapak dan Ibu Johan yang hanya melihat plastik pelapis dari bingkai cermin mereka, sehingga mereka merasa cermin itu jelek dan tidak cocok digantung di dinding. Padahal di balik lapisan itu, ada warna emas yang indah.

Padahal di balik rutinitas, ada banyak hal yang dapat memperkaya hidup kita. Setiap saat yang dilewati, hanya bisa kita alami satu kali seumur hidup. Setiap detik yang kita jalani, hanya berlaku satu kali dalam hidup kita. Setiap detik adalah pemberian baru dari Tuhan. Akankah kita menyia-nyiakannya dengan terpaku pada rutinitas? Akankah kita membiarkan waktu berlalu dengan merasa hidup kita tidak seperti yang kita inginkan?

Ngubah gaya tu bisa dengan lanhgkah-langkah :

1. Nyatakan dengan jelas, apa yang sebenarnya kamu inginkan.

”Aku ingin menjadi orang yang lebih sabar!” ”Aku ingin mencapai berat badan 62 kg!” ”Aku ingin mendapatkan nilai A dalam mata kuliah Biologi!” Soalnya banyak orang yang merumuskan perubahan mereka dengan ngambang. Ingin lebih baik! Ingin lebih gemuk! Ingin lebih pintar! Tapi ga jelas targetnya. Akhirnya, mereka melangkah begitu lama, tapi tidak pernah sampai ke tujuannya, soalnya emang mereka ga punya tujuan.

2. Jadikan perubahan itu suatu keharusan.

Bayangkan kejadian jelek yang bakal terjadi kalau perubahan itu ga terjadi. Kalau nilai ga naik, kemungkinan besar wisuda molor. Kalau berat badan ga naik, jadinya susah masuk STPDN dll.

3. Waktu ga sengaja kamu ngerjain kebiasaan lama itu, segera interupsi dan ganti dengan kebiasaan baru.

Ini salah satu cara untuk merusak rutinitas itu. Lama kelamaan rutinitas yang biasa itu bakal berkurang dengan sendirinya.

4. Ciptakan alternatif baru.

Kebiasaan-kebiasaan jelek itu bisa direduksi kalau sudah disiapkan kebiasaan pengganti. Ibaratnya iklan Aqua yang nuangin air bersih ke dalam gelas berisi air jorok. Dengan adanya kebiasaan alternatif, ibarat air bening yang mengisi gelas tersebut. Si air jorok jumlahnya ga nambah, dan akhirnya air bening tadi mampu menetralkan air jorok dan hasilnya segelas air putih. Rasulullah sering ke mesjid lewat satu jalan, kemudian pulang lewat jalan yang lainnya.

5. Praktekkan.

Lakukan kebiasaan-kebiasaan baru itu hingga menjadi sebuah karakter yang nempel di diri kita. Kapan saja, kapan ingat.

Setelah dua puluh tahun, dan setelah terlambat, barulah Bu Johan menyadari nilai sesungguhnya dari cermin tersebut. Inginkah kita menyadari keindahan hidup kita setelah segalanya terlambat? Tentu tidak. Sebab itu, marilah kita mulai mengikis pandangan kita bahwa hidup hanyalah rutinitas belaka. Mari kita mulai mengelupas rutinitas tersebut dan menemukan nilai sesungguhnya dari hidup kita.

Marilah mulai menjelajahi hidup ini, menemukan hal-hal baru, belajar lebih banyak, mengenal orang lebih baik. Mari melakukan sesuatu yang baru. Mari membuat perbedaan! Dengan suatu semangat baru untuk menjalani hidup lebih baik setiap hari.

Kepercayaan bahwa bayam dapat memberikan sumber tenaga yang besar, seperti yang dipopulerkan oleh Popeye The Sailorman, ternyata berdasarkan pada suatu kekeliruan. Kekeliruan ini muncul di tahun 1870, ketika sebuah tabel gizi yang sangat populer di Amerika, menyatakan bahwa bayam memiliki 10 kali lebih banyak zat besi dibanding sayuran lainnya. Kekeliruan ini terjadi karena salah menempatkan koma pada angka yang tertera. Dalam kenyataannya, kandungan zat besi bayam sama besar dengan sayuran lainnya.


No comments:

Post a Comment