Friday, February 1, 2008

TSABIT BIN IBRAHIM

Seorang lelaki saleh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat sebuah apel jatuh keluar dari pagar sebuah kebun. Melihat apel yang merah ranum itu tergeletak di tanah membuat Tsabit tergiur. Apalagi di hari yang panas dan kehausan terasa di mulutnya. Maka tanpa berpikir panjang dia memungut dan memakan buah apel yang segar itu. Namun, belum habis separuh apel itu termakan Tsabit teringat bahwa buah itu bukanlah haknya, itu bukan miliknya. Ia ingin secepatnya menemui sang pemilik kebun untuk segera minta maaf atas kelancangannya.

Di dalam kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki. Lalu ia langsung menghampiri dan berkata, “Tadi saya dalam perjalanan, dan lewat di depan kebun anda. Saya melihat sebuah apel yang jatuh di dekat pagar, langsung saya makan. Saya bersalah karena memakan buah apel anda tanpa izin. Sudikah anda memaafkan dan menghalalkannya?”.



Orang itu menjawab, “Aku juga bukan pemilik kebun ini. Aku pesuruhnya, hanya ditugaskan untuk mengurusi kebun ini.”

Dengan nada menyesal Tsabit bertanya lagi, “Lalu dimana rumah pemiliknya? Saya ingin menemui dan minta maaf.”

Penjaga kebun itu memberitahukan, “Tempatnya sangat jauh, kamu harus menempuh perjalanan sehari semalam dari sini.”

Namun Tsabit bin Ibrahim tetap bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. “Tidak apa-apa. Saya akan menemuinya, sejauh apa pun itu. Saya sudah memakan apel yang belum halal bagi saya. Bukankah Rasulullah SAW sudah memperingatkan kita: “Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka”.

Akhirnya Tsabit tetap pergi ke rumah pemilik kebun itu. Setelah pemilik rumah membukakan pintu, Tsabit memberi salam dengan sopan. Kemudian ia mengemukakan maksudnya, “Tuan, maafkan saya, saya sudah terlanjur memakan setengah dari buah apel yang jatuh ke luar kebun Tuan. Karena itu, maukah tuan menghalalkan apa yang sudah saya makan itu?”

Lelaki tua yang berdiri di hadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu berkata, “Sepertinya saya tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat.”

Tsabit semakin khawatir dengan syarat itu karena takut ia tidak bisa memenuhinya. Maka segera ia tanyakan, “Apa syarat itu tuan?”

Setelah diam beberapa saat sambil tetap mengawasi Tsabit, Bapak itu menjawab, “Kamu harus menikahi putri saya...”

Tsabit bin Ibrahim tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, “Apakah hanya karena saya makan setengah buah apel Tuan yang keluar dari kebun Tuan, maka saya harus mengawini putri Tuan?”

Pemilik kebun itu tidak menggubris pertanyaan Tsabit. “Sebelum pernikahan dimulai kamu harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putri saya. Dia buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang yang lumpuh.”

Betapa terkejutnya Tsabit dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berpikir dalam hati, apakah perempuan seperti itu patut dipersunting sebagai istri, hanya gara-gara setengah buah apel yang tidak dihalalkan untuknya? Kemudian pemilik kebun itu menegaskan, “Selain syarat itu saya tidak bisa menghalalkan apa yang telah kamu makan.”

Setelah merenung beberapa saat, akhirnya Tsabit menjawab dengan mantap, “Saya akan menerima pernikahan ini. Saya telah bertekad akan mematuhi Allah SWT. Untuk itu saya akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hak saya kepadanya. Semoga Allah selalu meridhai dan mudah-mudahan ini dapat menjadi tambahan tabungan kebaikan bagi saya di sisi-Nya”.

Maka pernikahan pun dilaksanakan. Pemilik kebun itu menghadirkan dua saksi pada pernikahan anaknya dan Tsabit bin Ibrahim. Sesudah akad nikah dan ritual lainnya usai, Tsabit dipersilahkan masuk ke dalam kamar menemui istrinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, terlintas kebimbangan dalam hatinya, betapa cacat yang dimiliki oleh istrinya teramat banyak, dan apakah dia akan siap menghadapinya. Namun, dengan meluruskan niat karena Allah, Tsabit tetap mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan bisu. Harapannya andai pun sang istri tidak menjawab salamnya, semoga malaikat Allah yang akan menjawabnya.

“Assalamu'alaikum...” salam dari Tsabit.

Di luar perkiraan Tsabit, wanita yang ada di hadapannya, wanita yang baru saja resmi menjadi istrinya itu menjawab salamnya dengan baik. Ketika Tsabit masuk dan hendak menghampiri wanita itu, dia mengulurkan tangan untuk menyingkapkan tirai yang menutupi ranjang pengantinnya. Ternyata si istri juga mengulurkan tangan membantu menyingkap tirai tersebut. Sekali lagi Tsabit terkejut karena wanita yang kini menjadi istrinya itu melakukan hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh seseorang yang memiliki ciri-ciri seperti yang disampaikan oleh bapak mertuanya. Tsabit sempat terhentak menyaksikan kenyataan ini. Dia mulai bertanya-tanya, jangan-jangan wanita yang di hadapannya ini bukanlah haknya.

“Kata ayahnya dia tuli dan bisu, ternyata dia menyambut salamku dengan baik. Kalau begitu adanya, berarti wanita yang ada di hadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula.”. Kata Tsabit dalam hati. Tsabit berpikir, mengapa ayahnya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya?

Akhirnya Tsabit tidak sanggup menahan kebingungannya, kemudian dia berlari meninggalkan kamar pengantin yang sudah dihias dengan bunga-bunga dan bermacam hiasan lainnya itu. Ia ingin segera menemui pemilik kebun yang ia sudah makan apelnya tanpa izin. Dia tidak bisa menerima keadaan istrinya. Semuanya tidak sesuai dengan apa yang pernah disampaikan oleh si pemilik kebun.

Ketika bertemu dengan Tuan yang punya kebun, Tsabit tak berbasa-basi lagi, “Tuan, di mana istri saya? Dimana anak Tuan yang sudah dinikahkan dengan saya itu?”

“Tenang anak muda! Tarik nafaslah dulu! Tenang!”

Tuan pemilik kebun itu membawa Tsabit duduk di salah satu ruangan di rumah itu. Barulah mereka berdua berbincang lebih lanjut.

“Di dalam tadi saya menemukan seorang wanita yang sehat, tidak seperti yang Tuan sampaikan mengenai ciri-ciri putri Tuan.”

“Di dalam kamar pengantin itu tak ada wanita lain selain anakku.”

“Tuan mengatakan bahwa dia buta. Mengapa?”

Jawab bapak mertuanya, “Benar, karena dia tidak pernah melihat apa yang diharamkan oleh Allah”.

Tsabit bertanya lagi, “Tuan juga mengatakan bahwa dia tuli. Mengapa?”

Beliau menjawab, “Benar, karena dia tidak pernah mau mendengar berita atau cerita orang yang tidak membuat Allah ridha. Saya juga mengatakan bahwa dia bisu dan lumpuh, bukan ?”

Sedikit kebahagiaan sudah tersirat di wajah Tsabit, bahwa ternyata istrinya adalah manusia yang sehat. Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan mertuanya.

Selanjutnya mertuanya itu berkata, “Saya mengatakan bahwa dia bisu karena dia tidak pernah berkata-kata yang tidak penting, apalagi sampai menyakiti orang lain. Dia hanya menggunakan lidahnya untuk mengucapkan kata-kata yang santun, berdzikir dan menyebut asma Allah saja. Saya mengatakan dia lumpuh karena kakinya tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang penuh maksiat dan mengundang kemurkaan Allah”.

Betapa bahagianya Tsabit mendapatkan istri yang ternyata amat saleh dan seorang wanita yang begitu memelihara dirinya. Dengan bangga ia kembali menemui istrinya. Tsabit dan istrinya yang salihah itu hidup rukun dan berbahagia. Dalam perjalanan perkawinan mereka dikaruniai seorang putra yang kemudian menjadi salah satu orang berilmu yang ilmunya dikenal hingga berbagai belahan dunia Islam. Itulah Imam Abu Hanifah An Nu'man bin Tsabit.

Tausiyah

Seperti apa keturunan anda nantinya tergantung pada seperti apakah anda saat ini.



No comments:

Post a Comment