Sepertinya memang demikian jika melihat kenyataan di lapangan akhir-akhir ini. Betapa tidak, berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah atau pun lembaga pemerintah yang membawa kebaikan akan ditentang habis-habisan oleh seluruh agama di Indonesia, oleh seluruh golongan sekuler di Indonesia. Alasan-alasan yang mengemuka adalah ketidak dilan sosial atau dengan kata lain toleransi.
Toleransi ya? Saya sempat berbincang dengan salah seorang mahasiswa asal Papua di kampus saya. Dia menceritakan kondisi daerah asalnya di Papua sana. Dengan ekspresi yang nyata dan tidak bisa dibohongi dia menceritakan bagaimana minuman keras membuat Papua tidak aman. Kekerasan sering terjadi yang pemicunya adalah minuman keras. Ini fakta dan keluhan di masyarakat.
Tapi, mari kita lihat di daerah lain. Andaikan ada aturan-aturan yang membatasi peredaran minuman keras, pasti satu agama dianggap sebagai biang keroknya. Agama yang tidak henti-hentinya membatasi orang lain. Islam. Dan aturan itu dianggap sebagai sebuah aturan bermasalah karena ”tidak mengakomodasi semua pihak”. Akhirnya aturan-aturan tersebut mental kembali karena ”tidak berasal dari golongan selain Islam.” andai pun aturan tersebut berasal dari golongan sekuler, itu pun belum menjamin akan lolosnya aturan tersebut. Jika latar belakang si sekuler tadi adalah muslim, jangan harap aturan tersebut bisa dengan mudah diloloskan.
Baru-baru ini, keputusan Komisi Penyiaran Indonesia menganjurkan tidak ditampilkannya tokoh banci di televisi menuai protes. Anehnya, keputusan lembaga pemerintah ini lagi-lagi dialamatkan kepada Islam. Terbukti dengan debat yang diadakan oleh TV One yang menampilkan narasumber salah seorang Ketua MUI. Padahal yang mengeluarkan peraturan adalah KPI.
Islam adalah agama yang mendorong umatnya untuk maju. Tidak boleh ada bagian masyarakat yang tertinggal atau terbelakang. Islam tidak membiarkan umatnya yang terbelakang hanya menjadi ”koleksi peradaban” yang harus dilestarikan. Oleh sebab itu, Islam sangat mendukung kemajuan budaya-budaya di seluruh Indonesia. Islam tidak ingin mereka yang berkoteka di Papua saat ini, tetap berkoteka hingga akhir zaman. Islam menginginkan mereka juga merasakan kemajuan zaman. Demikian juga dengan suku anak dalam di Sumatra. Islam ingin mereka berpakaian, sebagai bukti kemajuan zaman. Siapa lagi yang peduli terhadap mereka selain umat Islam, sementara golongan lain tetap menginginkan mereka terpuruk dalam ketidak tahuan. Terpuruk dalam keterbelakangan, dengan beralasan ”itu budaya”.
Fakta lain, toleransi beragama sering dijadikan alasan untuk memojokan Islam. Saya mempertanyakan hal ini karena kasus-kasus pertikaian yang melibatkan agama gampang untuk ditelusuri penyebabnya. Karena pernah merasakan bagaimana hidup dengan tetangga-tetangga non muslim saya mengerti mengapa terjadi konflik-konflik tersebut. Biasanya umat beragama lain melakukan ”pengajian-pengajian” hingga larut malam, atau bahkan disengaja agak mendekati tengah malam. Hal ini mengganggu ketentraman masyarakat yang ingin beristirahat, apalagi dengan peribadatan mereka yang kadang melibatkan nyanyian-nyanyian. Akhirnya masyarakat mengingatkan, tapi ditepis dengan alasan masyarakat tidak bisa bertoleransi terhadap mereka. Siapa yang salah? Saya tidak ingin menilai, anda sendiri yang bisa menilainya.
Seandainya pertemuan-pertemuan mereka saja sudah demikian, bagaimana seandainya mereka mendirikan rumah ibadah? Mereka selalu membesar-besarkan kasus pembangunan rumah ibadah. Padahal inti masalahnya sama-sama saja. Mereka mendirikan rumah ibadah di tengah-tengah lingkungan yang mayoritas muslim. Ketika diteliti, pengunjung rumah ibadah tersebut tidak berasal dari lingkungan sekitar, karena tak ada non muslim di lingkungan tersebut. Pengunjungnya mungkin berasal dari daerah yang jauh, bahkan luar kota. Tentu masyarakat menduga ada maksud lain di balik pembangunan rumah ibadah tersebut. Masyarakat resah, apalagi ini urusan yang sensitif. Akhirnya mereka memprotes (jika tidak didengarkan dengan cara yang baik, terpaksa lebih keras). Tapi lagi-lagi dibalas dengan alasan orang Islam tidak bertoleransi. Mereka beralasan umat Islam bisa membangun Mesjid di mana-mana. Tentu saja umat Islam bisa membangun mesjid di mana-mana. Karena di mana-mana ada jumlah muslim yang memang signifikan untuk menggunakan mesjid tersebut. Toh umat Islam tidak mendirikan mesjid di Vatikan, karena tidak ada yang akan menggunakannya di sana.
Kesimpulannya:
Ketika ada yang berbicara tentang moral dan kebaikan di Indonesia, jangan berfikir dua kali, yang dimaksud adalah Islam. Lihat saja siapa golongan yang memprotes ketika isu-isu tersebut dibahas.
Saya katakan ini blunder dari golongan sekuler maupun non muslim. Mereka harus mulai berfikir bahwa masyarakat ingin kebaikan. Sebaik apa pun mereka menutupi bangkai, baunya akan tercium juga. Meski mereka menutup-nutupi keresahan di masyarakat dan umat mereka, tetap akan muncul ke permukaan. Kelak wanita-wanita akan bersyukur atas menurunnya kasus perkosaan dan KDRT karena larangan minuman keras. Kelak ibu-ibu akan berbahagia karena anak mereka tak harus menonton pornoaksi dan pornografi dan berkembang di luar jalur.
Tirani minoritas di Indonesia mulai membahayakan. Saat ini hanya aturan-aturan umum yang ditolak karena alasan mengakomodasi pihak minoritas. Saya kira jika kenyataan ini tidak membaik, suatu saat nanti, orang Islam tidak boleh shalat di lapangan umum, dengan alasan tidak mengakomodasi golongan minoritas.
-